Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out

Misteri Mawar Merah Berdarah

Sebuah kisah yang masih terukir jelas dalam ingatanku, lima tahun yang lalu.
Hari itu tepat pada pukul 17.14 aku sudah sampai di rumah. Mentari mulai kembali ke peraduannya, sinar matahari yang mulai menguning indah terlihat jelas dari teras rumah. Aku melangkahkan kaki hendak masuk kerumah, namun pandangan ku tiba-tiba memudar, setiap benda terlihat menjadi dua, kucoba memegang ke sebuah sandaran kursi yang berada tepat disampingku untuk mempertahankan keseimbangan tubuhku, namun tak dapat kuraih. Selebihnya aku tak mengingatnya lagi. Dan setelah aku membuka mata, aku sudah berada dusebuah rumah sakit, tempat almarhum kakekku dirawat.
“eh sudah sadar yah?” Tanya dokter wanita sembari memeriksa suhu tubuhku.
“kok aku bisa sampai disini dok?”
“tadi seorang tetangga anda menemukan anda pingsan di depan rumah anda. Dia yang bawa anda kesini, namanya pak Mail, sekarang dia sudah pulang”
“oh pak Mail, kapan aku bisa pulang dok?”
“mungkin satu dua hari lagi anda bisa pulang, dari hasil pemeriksaan anda mengalami gelaja tipes,tidak terlalu parah, cuma butuh istirahat saja”
“oh” jawabku singkat.
Sejak kecil aku memang sudah terbiasa keluar masuk rumah sakit karena penyakit yang sama, tipes. Hari ini adalah hari pertama aku harus menginap di rumah sakit dengan kembali menyandang status pasien. Semua terasa membosankan.

***

Waktu menunjukkan pukul 19.00, kamar itu tak begitu besar, namun dapat dihuni oleh tiga ranjang pasien dan satu kamar mandi. Dikamar yang hanya dihuni aku dan seorang anak kecil berumur lima tahun itu terasa sangat sepi.
“dek, kok sendirian aja, mamanya mana?” tanyaku pada anak kecil yang terlihat sangat pucat itu.
“aku ngak punya mama, aku ngak sendiri kok, bentar lagi pasti temanku datang”
“mmh… emang temannya kemana?”
“eeng ngak tau” jawabnya singkat. Aku hanya terwata kecil melihat keluguannya.
“anak yang aneh” gumamku dalam hati.
“aku.. mawar” gadis kecil itu memperkenalkan dirinya
“oh.. kalau aku Nirwana Ayulestari,tapi kamu bisa pangil aku, Nina” kataku sambil melempar senyum padanya.

***

Sudah berjam-jam aku berbaring dikasur itu. Untuk mengusir sepiku, aku mulai menyalakan lampu dan mengambil pulpen dan selembar kertas untuk menulis puisi, fokusku teralih pada seorang suster yang menyalakan lampu tidur tepat disamping ranjang pasien yang tak berpenghuni.
“loh, kok lampunya dinyalain? Ada pasien baru yah sus?”
“haah…” Suster yang ku Tanya itupun terkejut dengan suaraku, hampir saja ia menjatuhkan lampu tidur berbentuk mawar itu.
“tenang sus, ini aku, Nina” ucapku. Suster itupun berjalan menghampiriku kemudian membisikkan sesuatu padaku.
“huust… jangan bertanya seperti itu lagi yah. Mbak tidur aja, ngak ada apa-apa kok” katanya sambil berlalu menghilang dibalik pintu.

***

Lima menit kemudian, seperti ada yang memanggil dibalik pintu.
“siapa yang datang tengah malam seperti ini?, bukannya aku dan adik ini sudah disuruh tidur sama suster” gumamku dalam hati.
Lamunanku terhenti, pada pertanyaan itu ketika seorang wanita kecil yang terbaring disampingku itu memanggil ku.
“kak, Niiinaaaa” aku menoleh kearahnya.
“tolong bukain pintu yah. Itu pasti temanku” katanya dengan wajah pucat.
Kondisi tangan yang tak mengenakan infuse saat itu membuatku mudah bergerak.
“ia tunggu yah, kakak bukain” aku melangkah kearah pintu, namun setelah kubuka pintu tersebut, tak ada siapa-siapa. Bulu kudukku mulai merinding. Aku menoleh kebelakang.
“ade, ngak ada siapa-siapa disini” ucapku pada adik yang berbaring tepat disamping ranjangku.
“makasih yaah” ucapnya dengan tatapan kosong.

Suasana saat itu berubah menjadi dingin, dingin mencekam. Kucoba menghilangkan rasa takutku dengan mendegarkan suara music pada handphone yang berada diatas ranjang, namun tiba-tiba suara indah evril levinge berubah menjadi suara tangis anak kecil yang sangat nyaring.
Reflek saja, kulempar handphone yang tengah kugenggam tepat diatas ranjang yang tak berpenghuni itu. Aku tak berani mengambilnya, namun ketika aku membalikkan badan kebelakang, handphon itu sudah berada lagi tepat disampingku dengan setangkai bunga mawar.
“mawarnya indah yah?” Tanya adik kecil yang berada diatas ranjangnya.
“I I ia” jawabku singkat, sambil mencoba untuk tersenyum, aku menyembunyikan rasa takutku agar anak kecil itu tak ikut takut sepertiku.

***

Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, mataku masih belum bisa terpejam, aku meraih selembar selimut putih yang terlipat rapi di bawah kakiku namun ketika aku meraba selumut itu, yang kusentuh bukanlah kain, akan tetapi seperti rambut panjang yang dipenuhi duri kecil dan halus, seperti duri bunga mawar. Aku melihat tanganku dan darah dari selah jari-jariku mulai menetesi wajahku.
Perasaan takutku mulai tak dapat kusembunyikan, aku bangun hendak berlari memanggil suster yang sedang berjaga malam. Namun ketika aku hendak mendekati pintu keluar, aku seperti tersesat, pintu yang berada dihadapanku menjadi pintu untuk masuk kedalam kamar mandi. Rasa takutku mulai memenuhi dadaku hingga terasa sesak.
Satu jam lebih aku berlari dalam kamar itu, hingga akhirnya aku menemukan pintu keluarnya, namun ketika pintu itu kubuka, seorang akan kecil berambut panjang memberiku setangkai bunga mawar merah yang dipenuhi darah segar yang masih menetes dibawahnya.
Aku memanggil dokter dan juga suster yang sedang bertugas pada malam itu, namun tak ada yang mendengarku. Aku berlari hingga menemukan kamar perawat, namun ketika aku mulai mendekat, langkahku terhenti. Jalan tempatku berdiri sudah dipenuhi oleh mawar berduri.
“sus, susteeerr…” teriakku memanggil histeris.
“ada apa?” suster itu membalikkan wajahnya 180 derajat dengan tubuh yang masih membelakangiku.
Aku berlari kebelakang hendak mencari tempat terang ataupun ramai, namun anehnya tak ada seorangpun yang berlalu lalang pada saat itu.
Aku berhenti sejenak, ku atur nafasku yang mulai tersengal namun suara tangis seribu anak kecil membuatku kembali sesak.
Kucoba menghindar dari suara tangisan itu, namun ketika aku berlari, langkahku terhenti oleh sorang dokter yang berdiri tegap di hadapanku. Aku menarik nafas legah.
“huuuh syukurlah Dok, tolong saya Dok” ada yang selalu mengejarku.
“siapa, ini …?” Dokter yang bertubuh tegap itu, berubah menjadi seorang anak kecil yang memegang mawar berdarah.
Aku berlari menghindarinya, namun saat aku mulai membalikkan tubuh, aku terjatuh tepat didepan seorang gadis kecil bersimbah darah yang tergeletak dengan mawar yang masih tergenggam ditangannya. Aku bangun, menghindarinya. Aku mencari jalan lain, namun ketika aku melangkah, seperti ada cairan yang sangat licin membuatku terjatuh, aku melihat kebawah dan ternyata cairan itu adalah darah.
Pandanganku mulai memudar, kuperhatikan disekitarku, terlihat beberapa anak kecil memakai baju putih mendekat kepadaku dengan membawa mawar merah yang ia seret di atas kubangan darah yang membuatku terjatuh.
Aku berteriak, anak-anak itu berlahan mulai mendekat. Aku terduduk, ku dekap kedua lututku, kutundukkan kepalaku dan tutup mataku. Aku menangis sejadi-jadinya, tak lama kemudian, cahaya matahari mulai menyinari selah jari-jari yang menutupi wajahku. Terdengar kokokan ayam yang mulai bersahutan, kubuka mataku, dan ternyata saat itu aku masih berada pada posisi yang sama namun ditempat yang berbeda. Aku berada di atas ranjangku dengan seikat mawar merah yang sepertinya baru saja dipetik

***

Tepat pada pukul 07.00 seorang suster kembali masuk kedalam kamarku, ia terlihat mematikan lampu tidur berbentuk bunga mawar.
Aku mulai tersadar, tak ada pasien lain kecuali aku di kamar ini. Aku meyakinkan diriku dengan bertanya kepada suster yang sedang bertugas pagi itu.
“maaf sus, pasien yang anak kecil disini kemana yah?” tanyaku dengan wajah heran.
“anak kecil? anak kecil yang mana yah Mbak?, hanya Mbak yang jadi pasien diamar ini” jawabnya sambil tersenyum.
“oh yah sus, kok ada lampu mawar disitu?” tanyaku lagi
“ngak tau juga yah Mbak, saya baru satu pekan bekerja disini, dan kata suster yang senior disini jika sudah pukul 07.00 kami wajib mematikan lampu ini” jelasnya padaku.
“bisa ngak aku ketemu sama suster senior yang suster maksud?”
“ia bisa Mbak, tunggu yah aku panggilkan dulu” jawabnya

***

Lima belas menit kemudian, seorang suster yang berumur kurang lebih empat puluh tahun itu menghampiriku. Kemudian ku ceritakan semua kejadian yang kualami sejak malam tadi. Ia mendengar ceritaku dengan seksama, namun ketika aku hendak menyebutkan ciri-ciri anak kecil itu, ia memintaku untuk menghentikan ceritaku.
Ia lalu berkisah.
“seminggu yang lalu seorang anak kecil menjadi pasienku, ia adalah korban kecelakaan. Kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan itu, hanya dia yang selamat, namun ketika ia dilarikan kerumah sakit ini, ia memegang sebuah lampu tidur yang berbentuk mawar, kurang lebih satu bulan ia dirawat disini, dikamar ini. Jika hari mulai gelam, ia selalu meminta kami untuk menyalakan lampu tidurnya, namun jika hari mulai terang ia meminta untuk mematikannya dan menyimpan lampu tidurnya diruangan kami” suster itu menoleh kekiri dan kanan, seperti ingin membisikkan suatu rahasia kepadaku. Sambil berbisik, ia kemudian melanjutkan kisahnya.
“namun anehnya setelah anak itu meninggal, hasil pemeriksaanya masih selalu muncul, terselip dengan hasil pemeriksaan pasien yang lain” lanjutnya dengan wajah yang mulai ketakutan. Ia kemudian kembali membisikkan sesuatu kepadaku.
“jangan beritahu siapa-siapa yah tentang kisah ini, hanya kamu, aku dan seorang dokter yang mengetahui ini” katanya sembari menatap kedua mataku.
“ia sus” jawabku singkat. Suster itupun beranjak pergi.

***

Waktu menunjukkan pukul 12.00 siang. Dokter yang merawatku kembali menanyakan keadaanku, hari itu dokter menyuruhku untuk beristirahat lebih lama dirumah sakit, namun aku menolaknya. Ia kemudian memberiku isin untuk pulang kerumah dengan syarat harus banyak istirahat.

***

Mulai sejak itu, kamar 210 tak pernah dihuni lagi oleh seorang pasien. Dan aku menjadi pasien terakhir yang menempati kamar itu. Sampai hari inipun tradisi menyala dan mematikan lampu itu masih dilakukan oleh semua suster yang bekerja pada rumah sakit itu, khusnya suster yang menangani pasien tunggalnya yang berada di kamar 210, karena hasil pemeriksaan yang masih selalu lebih, atas nama MAWAR, maka peristiwa itu dikenal dengan misteri MAWAR MERAH BERDARAH.

0 komentar:

Posting Komentar

 

free counters

Followers Bu-Share

Jam Sekarang
Tanggal
Salam Sapa :
Status Admin : Online*
User : User Online